Saturday, May 3, 2008

Open-minded


Saya baru selesai membaca buku Freakonomics karangan Steven D. Levitt, seorang ahli ekonomi, dan Stephen J. Dubner, seorang pengarang dan jurnalis di New York times. Dubner yang sedang mencari bahan tentang psikologi uang, mewawancarai banyak ahli ekonomi. Namun sebagai orang yang awam dalam ekonomi, ia sulit mencerna penjelasan ahli-ahli ekonomi ini.

Sampai akhirnya ia bertemu Levitt, seorang ahli ekonomi yang agak nyeleneh. Bukannya mengikuti perkembangan pasar uang dan moneter, atau memprediksi regresi, atau menjelaskan kebijakan pajak, ia malah menggunakan ilmu ekonomi untuk memperoleh jawaban terhadap pertanyaan yang lebih down to earth. "In Levitt's view, economics is a science with excellent tools for gaining answers but a serious shortage of interesting questions." kutipan artikel Dubner tentang Levitt di New York Times. Kutipan di belakang buku Freakonomics dimulai dengan beberapa pertanyaan aneh Levitt: "Which is more dangerous, a gun or a swimming pool? What do schooteachers and sumo wrestlers have in common? Why do drug dealers still live with their mums? How much do parents really matter?"

Semua jawaban atas pertanyaan itu tidak akan muat di satu posting ini. Tapi salah satu hal yang menarik dari buku tersebut adalah hasil temuan Levitt bahwa saat ini everyone tend to appear open-minded. Tuntutan kesamaan hak antara setiap suku bangsa di Amerika dan gender di dunia pada abad 20 tampaknya telah menunjukkan hasil, di mana diskriminasi terhadap orang kulit hitam dan wanita telah menurun. Namun hal tersebut tidak berarti di diskriminasi telah hilang, hanya saja orang-orang lebih sungkan untuk menunjukkannya di depan umum. Benarkah?

Salah satu jenis website yang sukses di internet adalah dating website. Masing-masing menawarkan fitur-fitur yang berbeda, tetapi dengan cara kerja relatif sama, yaitu user mempromosikan diri sendiri dengan menampilkan foto, pendapatan, pendidikan, favorit, dan lain-lain. Selain itu user juga menyebutkan ras mereka serta ras calon date yang mereka inginkan; “the same as mine” atau “race doesn’t matter”. Sekitar sebagian dari wanita kulit putih dan 80 persen pria kulit putih memilih bahwa ras tidak menjadi masalah. Namun data menunjukkan bahwa 90 persen dari email-email pria yang mengaku “race doesn’t matter” dikirimkan pada wanita kulit putih, sedangkan 97 persen dari email yang wanita dikirimkan pada pria dengan ras sama. Jadi, apakah mereka yang mengaku “race doesn’t matter” benar-benar bermaksud begitu? Atau memang hanya ingin tampil “fair”?

Saya sudah lama punya pikiran seperti ini (ohyaa…:p), bahwa rata-rata orang sekarang cenderung untuk fair terhadap orang lain, atau tidak ingin menunjukkan kecenderungan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Namun tentu saja bayangan saya tidak sama dengan Levitt, karena diskriminasi yang cukup berat terhadap kulit berwarna hanya terjadi di Amerika. Dan saya tidak pernah tinggal di Amerika. Lagipula saya tidak punya angka-angka yang jelas untuk menunjukkan hal itu. Tapi saya percaya bahwa di Indonesia kecenderungan seperti itu juga terjadi, antara golongan sosial ekonomi.

Salah satu hal yang mempengaruhi adalah sinetron (believe me, i never thought of writing anything about sinetron in the same way i write movie reviews, tapi yaa mau tidak mau saya update sama sinetron yang selalu ditonton oleh ibu, kakak perempuan saya dan pembantunya yang lebih sering tinggal di rumah. God help me!). Secara kasar alur cerita sinetron kita dapat digambarkan seperti ini: tokoh utama dari keluarga sederhana, cantik/ganteng, ternyata adalah anak orang kaya yang di/terbuang, lalu ada tokoh antagonis dari keluarga kaya yang masih muda dan sirik sama si tokoh utama, karena orang tua yang kaya itu sangat sayang sama si tokoh utama. Tapi sinetron Cahaya yang saat ini masing ditayangkan di RCTI (yeah sinetron CAHAYA, silahkan tertawa, I’ve bought my mom and my sis interesting books to read but they still watch it, dan walaupun jalan ceritanya muter-muter gak tentu arah dan jelas sangat membodohi, mereka tetep nonton…(sigh)…) mulai menunjukkan perubahan. Tokoh utama, Cahaya, yang jadi pembantu di rumah Talita, sangat disayang Talita yang seumuran dengannya itu. Walaupun mamanya Talita awalnya jahat, lama-lama ia jatuh sayang pada Cahaya dan bahkan menjadikan Cahaya anak angkatnya. Selain itu ada tokoh ayah yang memungut Cahaya dari orang tua aslinya. Si ayah ini tidak bisa dipercaya, rela berbohong demi kepentingan sendiri. Namun si ayah memainkan peran sentral dalam hidup Cahaya sebab ia sangat sayang pada Cahaya. Saya tidak tahu sinetron apa lagi yang punya tipe tokoh-tokoh seperti ini. Yang jelas, saya melihat bahwa sutradara sinetron ini sudah mulai sadar bahwa penonton juga tidak bodoh; dunia tidak terdiri dari dua kubu saja yaitu anak miskin cakep yang super baik dan ibu angkat menor yang super jahat, tapi ada juga orang-orang menyebalkan yang berada di pihak “orang baik” (still, I suggest you not to watch sinetron, it’s…uneducative as ever).

Saya percaya bahwa film adalah salah satu jalan untuk bercermin bagi setiap orang. Suka atau tidak, penonton akan memposisikan diri sebagai salah satu tokoh di film, bisa jadi karena menemukan kesamaan sifat atau tokoh tersebut mempunyai karakter yang disukai atau diinginkan penonton. Sebaliknya, penonton tidak menyukai salah seorang tokoh karena tokoh tersebut melakukan perbuatan yang tidak akan dilakukan si penonton atau yang dianggap sangat tercela di film tersebut, seperti tindakan kejam terhadap pembantu. Saya tidak tau apa yang dipikirkan orang ketika melihat adegan kejam terhadap pembantu di TV, kalau saya sih langsung mikir “gila, sadis amat, gw gak bakal kaya gitu deh” (mungkin rada ngerasa benar-sendiri-dan-orang-lain-selalu-salah kali ya, hehehe).

Entah ada hubungannya apa tidak, setelah saya sering berpikir gw-gak-akan-seperti-itu terhadap tokoh jahat di film, muncullah film-film yang lebih “realistis”, yaitu tokoh utama yang kadang pencuri atau pembunuh, atau orang baik yang pada akhirnya berbuat salah.* Dengan tokoh-tokoh ini, penonton dapat lebih merasa dekat dengan tokoh utama, karena si tokoh berbuat kesalahan yang normal di dunia nyata. Dengan begitu, orang akan lebih menyukai film tersebut. Di sisi lain penonton dapat lebih toleran terhadap orang-orang pembuat kesalahan tersebut, dengan kata lain open-minded.

*Bisa saja ada penjelasan lain untuk hal ini: kebetulan saya mulai menonton film Hollywood memang waktu sedang musim film action tentang pahlawan yang membasmi penjahat seorang diri (dominasi Steven Spielberg, yang beberapa penjahatnya orang Asia), beberapa tahun setelah itu film yang laku adalah tentang petualangan pencuri kelas kakap (masing ingat Entrapment?), dan setelah itu jaman drama yang lebih melibatkan emosi dan menonjolkan karakter tokoh (No Country for Old Men lebih menonjolkan suasana mencekam yang dirasakan tokoh daripada aksi tembak-tembakannya).

Anyway

Satu contoh lain tentang fairness di buku Freakonomics adalah pemilihan walikota New York pada tahun 1989 antara David Dinkins yang berkulit hitam dengan Rudolph Giuliani yang berkulit putih. Walaupun Dinkins menang dan menjadi walikota New York pertama yang berkulit hitam, angka kemenangan yang tipis dianggap mengejutkan karena polling mempredikan bahwa Dinkins akan menang dengan suara 15 persen lebih banyak. Selain itu David Duke, seorang supremasis kulit putih, yang mencalonkan diri menjadi anggota senat AS pada tahun 1990, mendapatkan suara 20 persen lebih tinggi daripada jumlah di polling prediksi. Apakah itu artinya orang-orang yang ditelpon dan ditanyai oleh lembaga survey tidak mau mengakui bahwa mereka lebih memilih orang kulit putih atau orang yang rasis?

No comments:

Post a Comment