Friday, October 12, 2007

1 Syawal (or 30 Ramadhan?) 1428

pagi ini waktu keluar rumah dengan ibu, ayah dan kakak iparku, kami tampak seperti alien di antara beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar rumah. bapak-bapak itu berbaju santai; celana pendek dan kaos, tampak berkeringat seperti habis membersihkan rumah, sementara kami memakai baju bepergian, lebih tepatnya, ayah dan kakak iparku memakai baju koko, aku dan ibu memakai baju muslimah yang tertutup, membawa sajadah, koran bekas dan mukena dan berjalan ke arah lapangan di depan balai warga.

setelah berjalan satu blok dari rumah, kami belum melihat orang lain yang berbusana sama dengan kami,
bahkan tidak melihat orang yang keluar rumah. baru setelah kira-kira 300 meter dari rumah, aku melihat seorang cowok dengan baju koko, sarung dan kopiah sedang menutup pintu pagar rumahnya. namun selain itu, kami belum mendengar suara takbir yang biasanya mewarnai perjalanan kami di tahun-tahun sebelumnya. semakin dekat ke lapangan, barulah terlihat orang lain yang berpakaian muslim menuju arah yang sama dengan kami, sementara gema nyanyian Allahuakbar Allahuakbar...semakin terdengar.

dulu, sebelum tahun berapa tepatnya, aku lupa, tidak ada perasaan seperti alien ini di hari yang disebut (dan disepakati bersama oleh segenap pemerintah dan masyarakat tanpa banyak cingcong) Hari Kemenangan ini. kalau kami sekeluarga pergi shalat id, di perjalanan kami akan bertemu orang2 lain yang sedang menuju mesjid atau lapangan juga. tidak ada yang bercelana pendek atau sedang membersihkan rumah, misalnya, sebab tentu saja orang2 selalu bersih2 sebelum hari lebaran yang, sekali lagi, disepakati bersama pada hari yang sama tanpa banyak cingcong.

sekarang, setelah semua penduduk indonesia rajin menyebut-nyebut reformasi, dan negara lain memandang positif perkembangan demokrasi negeri ini, apapun bisa berbeda, termasuk cara menentukan bulan baru, yaitu rukyat dan hilal, dan berdasarkan itu pula orang-orang merayakan lebaran pada hari yang berbeda.


ayahku, yang cukup aktif di organisasi muslim terbesar kedua di negeri ini, dengan senang hati mengikuti keputusan pimpinannya yang menentukan Idul Fitri sehari sebelum tanggal merah di kalender. dan semua anak2nya tentu saja ikut beliau. aku selalu senang berlebaran lebih awal. lebaran is always fun and waited for. lagipula, walaupun aku tidak aktif di organisasi itu seperti ayah, aku lebih setuju dengan cara menghitung hisab ini, dan dengan sedikit ngeles: toh di Mekkah shalat id hari ini kok hehehe…


senang...sampai pagi ini, ketika melihat betapa sedikitnya warga yang shalat hari ini, walaupun dua mesjid di RW ini sudah memutuskan lebaran duluan. apalagi waktu ibu berbisik padaku tentang kakak iparku yang terus-terusan berbicara tentang perhitungan hisab; ijma’ sudah bisa dilihat jam 12 siang kemaren…(yah aku lupa kalimatnya tepatnya, soalnya tidak begitu ngerti hitung2an ini). menurut ibu, kakak iparku tampak ragu lebaran hari ini atau tidak. dari kemaren dibahas terus, mungkin kakakmu itu ragu.


jadinya selama shalat dan mendengar bacaan imam yg merdu, kepalaku masih diisi dengan persoalan perbedaan ini, mulai dari pertimbangan aku belum bisa bilang selamat lebaran buat my honey sampai berita di islam online tentang hari lebaran yang juga berbeda antara negara2 timur tengah.


baru setelah pulang shalat ied dan kakak iparku memperlihatkan kalender siklus bulan yang didapatnya dari situs NASA, aku lega, ternyata dia tidak “terpaksa” lebaran hari ini seperti yang dikuatirkan ibu. dan setelah makan, ngobrol dan bermaaf2an, semua prasangka buruk itu hilang dari kepalaku. prasangka seperti
apa organisasi ayahku dan pemerintah sama2 terlalu angkuh untuk menyesuaikan keyakinan mereka buat kebersamaan sekali saja?, (so that i can celebrate lebaran at the same day with my honey), apa mesir, aljazair dan arab saudi juga terlalu angkuh untuk berlebaran di hari yang sama? well, pada akhirnya, setelah makan 3 porsi lontong dalam 4 jam, melihat ponakanku yg baru lahir 2 bulan yang lalu setelah ditunggu-tunggu kehadirannya selama 10 tahun, dan setelah tertawa mendengar cerita ayah tentang seorang kiyai dan politikus di negeri ini yang pernah ngomong sinis tentang lebaran yang berbeda; orang lain sudah pergi ke bulan, sementara kita masih ribut soal bagaimana cara melihat bulan, aku memutuskan tidak ada yang tidak aku syukuri hari ini. kata-kata ibu pagi inilah yang paling make sense; serahkan semua pada yang di atas, biar Dia yang menilai puasa dan shalat kita diterima apa tidak.

anyway, selamat lebaran semua. kalau ada yang tidak berkenan, tolong maafkan saya...:)

No comments:

Post a Comment