Saturday, March 28, 2009

Kuota 30% Perempuan di Legislatif: Curhat Post-Feminist

Apa sih yang diinginkan feminis?

Jawaban paling umum: perempuan harus memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang politik, sosial, seksual, intelektual, dan ekonomi. (wiki input:p)

Mari membahas lebih spesifik. Gerakan feminis tidak selalu sama di setiap zaman dan tempat. Bahkan sampai saat ini kaum feminis masih terpecah soal apa itu "kesetaraan gender".

Menurut kronologis, ada first wafe, second wave, dan third wave feminism. First wave dimulai pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, yang memperjuangkan hak-hak kepemilikan (ekonomi) dan hak suara (politik) bagi wanita. Second wave dimulai pada tahun 1960-an hingga 1980, merupakan perjuangan untuk menghapus diskriminasi dan mengusung kesetaraan. Third wave pada tahun 1990-an, berusaha untuk menutupi kekurangan gerakan second wave yang kurang memahami variasi masalah gender pada setiap ras dan negara.

Ada lagi post-feminism. Kelompok ini percaya bahwa second-wave feminist sudah mencapai apa yang diinginkannya, yaitu kesetaraan kesempatan dan menghapuskan diskriminasi.

Itu sebabnya, beberapa teman laki-laki saya menganggap bahwa "feminism is so old-school".

Bukannya mereka anti-feminis, mereka bahkan sangat liberal dan punya istri wanita karir. Saya yakin, seperti post-feminist, mereka beranggapan bahwa perempuan sudah diperlakukan cukup layak dalam berbagai kesempatan saat ini, sehingga perjuangan anti-diskriminasi sudah tidak relevan lagi.*

Tidak semua berpikir begitu, ternyata. Salah satu gerakan berbau feminis dan anti-diskriminasi menjelang pemilu yaitu tuntutan pada parpol untuk memenuhi kuota 30% calon dan anggota legislatif perempuan. Ada lagi protes terhadap keputusan MK tentang kemenangan caleg berdasarkan suara terbanyak. Hal ini tentu menghambat terlaksananya affirmative action macam kuota 30% ini.

Masalah kesetaraan gender dan diskriminasi ini membuat saya selalu berada di grey area. Pasalnya, kenapa pula laki-laki dan perempuan harus dibedakan? Sama-sama bisa makan, tidur, bernapas, mikir, belajar, beradaptasi, dan bisa jadi politisi. Tapi pada kasus tertentu memang perlu perlakuan beda, seperti pada foto di atas, feel-nya akan beda kalau modelnya adalah cowok. Maka muncullah pendapat bahwa laki-laki dan perempuan punya pembagian tugas yang berbeda (bukan kodrat loh, tapi pembagian tugas), agar bisa saling melengkapi. Bahasan menarik tentang pembagian tugas laki-laki dan perempuan ini saya baca di blog teman. Laki-laki menyetir, perempuan menavigasi. Loh, kan sekarang ada GPS? Seseorang bisa menyetir dan navigasi sekaligus. Waduh, diskusi pembagian tugas ini gak akan kelar sampai akhir jaman. Lain kali akan saya bahas.

Mari kita runut lagi. Kuota 30% perempuan di legislatif sebagai bentuk affirmative action, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah perempuan di parlemen, untuk mengakomodasi kepentingan perempuan, agar distribusi kesejahteraan akan lebih adil untuk perempuan, yang jumlahnya mencapai 68% dalam kategori miskin.

Kuota 30% yang belum terpenuhi dinilai karena parpol (dan pemilih) masih diskriminatif dan pengaruh budaya patriarki. Saya jadi penasaran, apakah dulu universitas juga mematok kuota sekian persen untuk menyeimbangkan jumlah perempuan dan laki-laki? Toh sekarang jumlah mahasiswi bisa lebih banyak daripada mahasiswa, bahkan hingga jenjang S3. Terbukti diskriminasi tidak laku. "Tapi itu kan baru universitas, bukan parlemen?" Well, kita tidak tahu apa yang akan dikerjakan mahasiswi-mahasiswi ini nanti; dosen, wartawan, pengacara, aktivis, manajer, banker, presiden direktur, gubernur, atau menteri? Never underestimate what a university can do to people.

Lagipula, saya agak merasa terhina bahwa undang-undang sampai perlu membuat kuota untuk keterwakilan perempuan. Kesannya perempuan adalah "makhluk khusus yang tidak bisa menolong diri sendiri". Banyak yang percaya bahwa perempuan sama mampunya dengan laki-laki untuk jadi politikus. Masalahnya adalah, ketika ada dua calon, laki-laki dan perempuan, yang sama kualitasnya, apakah gender berpengaruh terhadap pilihan masyarakat? Di sinilah diskriminasi harus dilawan, bukan asal mencalonkan atau memasukkan perempuan ke dalam parlemen.

Apabila perempuan tidak banyak atau tidak mau menjadi caleg, apakah itu berarti ada budaya diskriminasi atau pengaruh budaya patriarki? Saya sih menyarankan cari jawaban lain saja. Misalnya, cek kembali apakah legislatif itu pekerjaan yang menarik atau tidak. Bukankah lebih seru jadi presiden direktur perusahaan kosmetik raksasa atau pekerja NGO yang keliling dunia ketimbang jadi anggota di lembaga berkredibilitas terburuk di negara ini?

Lagian, kenapa bukan para aktivis yang demo itu saja mendaftar jadi caleg. Niscaya kuota 30% akan terpenuhi. Daripada demo dan membuat macet cet.

Lalu soal mengakomodasi kepentingan perempuan. Let's see, Condolizza Rice itu kebijakannya sangat maskulin, mendukung invasi Amerika ke Irak, tanpa peduli berapa wanita yang akan mati nantinya. Dan (tadinya) Hillary Clinton adalah salah satu pendukung kebijakan ini. Tapi coba lihat ke Bangladesh, Prof. Muhammad Yunus memberikan kredit mikro yang lebih ditargetkan pada kaum perempuan. Jadi, mari pertanyakan kembali apakah perempuan akan selalu properempuan atau laki-laki akan selalu mendiskriminasi perempuan.

Makanya, dari awal saya sudah malas kalau anggota parlemen atau penduduk miskin dihitung dari jumlah laki-laki vs perempuan. Saya yakin proporsi fifty-fifty akan segera terpenuhi apabila perempuan mulai menyadari kalau menjadi wakil rakyat itu penting, sama seperti pendidikan dan masuk universitas. Tapi sebelumnya, taraf hidup akan seimbang kalau setiap perempuan berjuang untuk diri masing-masing dan orang sekitarnya.

Pada dasarnya, saya bersyukur tidak hidup di zaman dulu di mana perempuan tidak punya hak pilih dan kepemilikan. Thanks to (early) feminists. But we don't need this quota. Women and men may be different, but not so in capability and opportunity, I believe. Perlakuan berbeda harusnya diberlakukan terhadap individu, bukan antara laki-laki dan perempuan.

*Harus diakui, perjuangan akan nasib perempuan seperti melawan KDRT masih perlu, walaupun, lagi-lagi, KDRT pun terjadi pada laki-laki, walaupun jumlahnya kecil.

7 comments:

  1. Setuju. Rekayasa itu. Tidak natural. :D

    ReplyDelete
  2. thanks hun (ini salah satu usaha renegosiasi pembagian tugas loooh halah :p)

    @gentole: rekayasa dan jadi common sense ya :p

    ReplyDelete
  3. Dalam survey LSI, perempuan lebih banyak memilih caleg laki2. Dan laki2 tentu percaya pada caleg laki2 ktmbg perempuan. Karena seperti "diyakini" M Yunus, laki2 lebih gombal ktmbg perempuan. Mungkin karena itu pekerjaan legislasi menarik atau lebih cocok bg lk2 :p

    Tapi tentu saja keterwakilan perempuan di parlemen tidak sekedar soal duduk di kursi terhormat semata. Penggiat feminisme percaya bahwa semakin banyak perempuan di parlemen, semakin gender-friendly lah UU dibuat. Karena itu affirmatif action tsb perlu.

    Aku kira affirmatif action itu tidak menghinakan perempuan dan niatnya jg tidak menghinakan. Masalahnya, dalam budaya patriarkis, seperti yang terpindai oleh LSI, laki-laki lebih preferable. Ada semacam "routine program" dalam chipset otak manusia tdk hanya patriarkis, tp juga masih paternalistik & feodal untuk memilih laki-laki.

    Dan katanya si empu survey, pola suara terbanyak pun tidak akan banyak berpengaruh. Nilai jual parpol masih lebih tinggi ketimbang personal image. Partai lah sebenarnya yang menjadi target dari affirmatif action tsb, bukan pemilih.

    Jadi masalahnya bukan pada laki-laki atau perempuan berbeda. Tapi soal percaya atau tidak.

    Pertanyaan paling musykil dijawab adalah apakah paktriarki itu harus diganti dengan maktriarki ? Apa iya ada middle ground atau grey area di antara keduanya? Atau sebenarnya, grand narasi dunia ini tidak sedang berjalan dalam kategorisasi tersebut?

    ReplyDelete
  4. iyah that appears to me too, bahwa semua kel gender cenderung memilih laki-laki. tapi kalo bisa surveynya dilengkapi dong (atau kasih link), caleg laki-laki dan perempuan yang terpilih itu kualitasnya bagaimana. ingat juga bahwa banyak faktor yg menentukan terpilihnya calon, dan bahwa yg terpilih banyak laki-laki, apakah itu krn kelaki-lakiannya?

    emang benar, masyarakat kita masih punya mindset patriarki, bahkan mgkn tidak kita sadari (seperti stereotyping yg mengasosiasikan senjata dgn orang kulit hitam misalnya). but still, harusnya kita gak percaya begitu saja sama hasil polling. perlu penelitian kualitatif nih untuk mencari tahu apa yg dilihat pemilih dari caleg (ya seperti partai yg sonny bilang itu).

    please define UU yg gender-friendly. aku sih sangat berterima kasih pada UU tenaga kerja yg mengizinkan wanita cuti hamil dan menstruasi, krn itu keterbatasan fisik. tapi masih binun soal UU AP. sebenarnya itu pro perempuan gak sih? perempuan yg liberal dan pluralis merasa terbatas hak berpakaiannya, sedangkan ibu2 setuju krn concern terhadap pengaruh massive-nya pornoaksi di media thd anak2. dan ingat bahwa UU ini diterbitkan di masa legislatif blm fifty2. bukannya kalau mengikuti logika "laki-laki kurang concern thd kebaikan perempuan" maka harusnya DPR yg skrg didominasi laki2 itu akan cuek aja soal RUU AP yg objeknya lebih banyak perempuan itu? (atau mgkn malah senang2 aja dgn gaya berpakaian perempuan masa kini? yah, krn gak mau stereotyping, saya percaya msh banyak laki2 yg baik di dunia ini haiyaahh:p)

    "Jadi masalahnya bukan pada laki-laki atau perempuan berbeda. Tapi soal percaya atau tidak." CMIIW, tapi kalimat ini justru menunjukkan bahwa gender tidak relevan, yg penting kepercayaan pada caleg :p

    i'm forever in the grey area. gak setuju patriarki diganti matriarki (sama aja boong itu mah, diskriminasi jg). we are different, yet not so. kodrat wanita, karena kondisi fisiknya, harus melahirkan dan menstruasi (si mona pernah bikin ini di blognya, kok bisa2nya ak lupa, bahkan gak komen! mgkn saking setujunya sama tulisan mona itu hehehe) bahkan untuk UU AP pun ak antara setuju dan tidak. susah deh kalo dah ngomongin gender. gak ada habis2nya

    ReplyDelete
  5. Dalam survey itu emang caleg laki2 lbh preferable. Tapi ada suara sebesar 30-an % yg tidak mempermasalahkan gender. Setelah dirunut oleh empunya survey, diambil kesimpulan bhw suara tsb adl pemilih rasional. U know kan pemilih rasional itu definisinya apa? Somehow mereka dianggap makhluk jadi2an yg bnama swing voter. Jadi emang soal percaya atau tidak. Pemilih rasional hmpr tdk merasa punya ikatan dg budaya patriarki.

    Tapi kasus pilgub Jatim kmrn contoh menarik tth preferensi gender. Khofifah meski kalah (tipis) tlh membuktikan bhw dlm budaya paternalistik, isu gender tdk relevan selama para broker-nya rasional..

    Emang ada yg bilang isu keterwakilan perempuan tdk relevan krn tanpa kuota pun UU sudah gender friendly. Tp mungkin empunya feminisme (liberal) ingin istilah2 feminism bertaburan dlm UU (pengarusutamaan gender, tdk bias gender dst). Isu yg plg kentara tentu saja soal ratifikasi hasil konferensi perempuan sedunia. Tp sejak Konferensi Perempuan Sedunia di Cairo, kaum agamawan sudah memandang curiga pd gerakan feminisme. Menurut Jhon L Esposito, itu salahnya aktivis feminism, bukannya agamawan..

    ReplyDelete
  6. so we need to fulfill the quota anyway for the sake of conforming the (radical) feminist voice? for the sake of democracy?

    bukannya yg penting adalah suara terbanyak :p

    ReplyDelete