Wednesday, October 27, 2010

Si Juru Kunci

Beberapa minggu sebelum peristiwa tragis itu, si juru kunci menghadap paduka.

Juru kunci: Paduka, hamba sudah tua.

Paduka raja: Ya wahai juru. Engkau telah bekerja bertahun-tahun. Dan aku percaya padamu.

Juru kunci: Terima kasih Paduka. Hanya saja… hm…

Paduka raja: Hanya apa, juru?

Juru kunci: Hamba rasa, sudah saatnya. Sudah tiba waktu hamba. Paduka sebaiknya mencari juru baru.

Paduka raja: Begitukah? Aku akan sedih, juru. Kau sudah bekerja dengan baik.

Juru kunci: Maafkan hamba, Paduka. Hamba mohon pamit. Waktu hamba tidak akan lama lagi.

Paduja raja: (berkaca-kaca) Baiklah, juru. Lakukan apa yang terbaik menurutmu.

Juru kunci: Terima kasih, terima kasih hamba tidak akan putus pada Paduka.

Itulah terakhir kali paduka raja melihatnya.

Maka pada saat muncul tanda-tanda amukan Meraja, juru kunci tidak ikut mengungsi dengan warga. Ia memilih tinggal di peraduannya, walaupun ia tau dekatnya intaian bahaya.

“Tapi kalau terjadi apa-apa padamu, akan membuktikan argumentasi mereka yang tidak percaya padamu, juru.” protes salah seorang pengikut setianya ketika mengetahui rencananya.

“Aku tidak peduli. Tugasku bukan untuk meyakinkan mereka. Aku akan tinggal.” ujarnya.

Ia sadar akan umurnya. Waktunya tidak banyak. Di sanalah ia, duduk menunggu amukan Meraja menghantamnya. Ia tau ia tidak akan hidup hingga saat amukan berikutnya. Maka ia memilih ditamatkan oleh apa yang telah dijaganya hampir selamanya, daripada harus mati karena sakit, yang hanya sedikit terhormat dipandangnya. Dan setelah hari nahas itu, regu penyelamat menemukan tubuh kakunya bersujud di tengah peraduannya yang porak poranda.

*Perhatian: Kisah ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada kemiripan nama dan karakter, itu hanya kebetulan.

**Penulis cuma sedikit berpandangan romantis, bukannya percaya pada mistis. Lagipula, saya selalu tidak suka ketika kita penonton merasa tahu segala-galanya hanya dari sepenggal berita yang kita tonton di TV.

5 comments:

  1. hehe..tulisannya fakta yah mba marijan

    ReplyDelete
  2. mantep.. Bu'
    bisa dijadiin film ni bu' kalo fiktif belaka. hehehe

    ReplyDelete
  3. saya gak nyebut2 mbah marijan tuh :)

    roby: silakan bikin filmnya, nanti saya jd scriptwriter aja he3. senang melihat mahasiswa yg rajin ngeblog. teruskan!

    ReplyDelete
  4. tentu saja ini fiktif belaka.. dalam kehidupan nyata dialog itu ngga mungkin terjadi, karena sang juru kunci hanya patuh pada mendiang paduka raja sebelumnya..

    ngomong ngomong pemilik blog nya mana nih? warung tutup yah neng?

    ReplyDelete
  5. ya memang. fiktif belaka, seperti paman zeb :)

    (dari sang pemilik blog. ada apa, cari2 saya?:p)

    ReplyDelete