Sunday, October 14, 2012

Batu Swarovski

Pertama kali saya mendengar tentang batu kristal swarovski yaitu waktu nyari sendal untuk akad nikah.

Sendal itu langsung menarik perhatian ketika saya masuk toko, karena walaupun hampir semua sendal di situ penuh dengan hiasan batu-batu, sendal di rak itu kilaunya beda dari sendal-sendal lain.

Waktu saya coba, ternyata bener, kaki saya seketika terlihat seperti... seperti kakinya Kate Middleton!

Dengan penampakan drastis seperti itu, saya maklum harganya pasti mahal. Tapi waktu saya membalik sendal itu buat ngeliat harganya, ternyata lebih mahal dari perkiraan saya. Sebenarnya sih, untuk ukuran akad nikah, itu gak lebih mahal dari sendal nikahnya si Rika yang mau saya pinjam tapi gak jadi karena gak matching sama baju. Si Rika beli tu sendal diskon pula, dan masih lebih mahal dari sendal ini. Tapi yaaa saya berharap di kota sekecil Padang harganya bisa jauh lebih murah lah.

Maka begitu saya termangu-mangu, langsung deh diprospek sama pramuniaga:
P: "Ini baru loh kaka, bagus banget di kaki kaka."
S: "Mmm, iya sih, tapi apa gak bisa kurang nih harganya?"
P: "Itu udah diskon 10 persen kak."

Trus saya liat sendal yang di rak sebelah. Kurang berkilau memang. Tapi tetap saya cobain. Kali ini ngeliat harga dulu, yang setengah dari sendal tadi. Begitu saya cobain... ta-daaa! Kaki saya terlihat seperti... ya seperti kaki saya.

Harga emang gak bohong ya.

Ilustrasi
Saya berpandangan dengan--waktu itu--calon suami saya, yang tentu saja juga mengagumi kaki Kate Middleton saya. Ngeliat saya begitu ngebet, dia nyaranin beli aja. Tapi sayanya masih ragu, lumayan setengahnya, sisanya bisa beli tiket pesawat ke KL berikut airport tax buat jalan-jalan sekitar Asia. Sejak rutin jalan-jalan dari taun lalu, saya jadi ngerasa liburan tuh perlu banget. Apalagi libur ke luar negeri sudah lebih mudah murah meriah. Bukan berarti saya gengsi liburan di Indonesia loh. Atas nama jalan-jalan, saya mau ke mana aja! Tapi nasib tinggal di Sumatera gini, jalan-jalan ke luar negeri kadang lebih murah daripada ke pulau-pulau bagian timur Indonesia yang cantik-cantik itu.

Ngeliat saya masih ngitung-ngitung, si pramuniaga makin gencar aja.

P: "Buat nikah ya kak?"
S: "Iya."
P: "Kalo buat nikah, gapapa mahal dikit. Kan buat sekali seumur hidup."

Saya setuju banget. Sungguh! Tapi... ingat tiket pesawat... tiket pesawat...

Si pramuniaga nyela lagi:
"Lagian ini batunya beda, ini batu swarovski, kaka."

Saya dan calon suami yang gagap fashion ini kompak merespon: "Batu apa?"

"Batu swarovski. Kilaunya beda kan kaka, lebih cerah dari yang lain."

Singkat kata, saya nggak jadi beli sendal swarovski. Tapi ternyata itu bukan terakhir kali kami berurusan dengan si batu Rusia ini (tuduhan yang menyesatkan karena batu swarovski gak ada hubungannya dengan Rusia. Silakan google kalau tertarik).

Urusan berikutnya waktu di Bengkulu nyari jilbab untuk kondangan. Karena gak tau medan, saya nyari jilbab di butik. Suatu tindakan bunuh diri. Dan begitu ngeliat kilau batu-batu di jilbab itu, saya udah curiga. Pasti mahal.

S: Yang ini berapa harganya mbak?
Mbak-mbak: Itu 300rb kak. Bagus soalnya, kan pake swarovski.

Saya dan suami berpandang-pandangan. Belum sebulan kami menikah, sudah ketemu swarovski lagi. Dan sekali lagi, setelah memilih-milih berbagai jilbab, saya beli jilbab lain yang bukan pake swarovski.

Pertemuan berikutnya dengan swarovski lebih serius. Eh maksudnya gak ketemu langsung, tapi setidaknya membuat saya menganggap batu ini lebih serius. Waktu membaca email berlanggan dari salah satu situs info beasiswa, saya harus membaca dua kali untuk yakin bahwa mata saya nggak salah: The Swarovski Scholarship! Barulah saya tau kalo batu swarovski itu nggak main-main (ya iya lah mungkin cuma orang yang gak ngerti fashion aja yang nganggap swarovski main-main). Setidaknya bukan barang yang tau-tau ngetren sehingga harganya melonjak tinggi. Tapi jelas saya nggak ngedaftar beasiswa tersebut karena saya bukan mahasiswa S1 bidang fashion atau jewellery design.

Waktu berlalu dan tabungan yang tidak pernah membeli swarovski ini pun mampu membiayai trip of a lifetime; Beijing - Hong Kong - Singapura - Batam - Kuala Lumpur.

Waktu menyusuri jalanan Hong Kong dan terbengong-bengong ngeliat deretan toko-toko mentereng seperti Rolex, Prada, Louis Vuitton, dan Chanel, tau-tau kami sampai di depan sebuah toko gak begitu besar dengan plang nama gak begitu besar pula: Swarovski! Baru kali itu lah saya ngeliat tulisan Swarovski asli berikut logo angsanya.

Beberapa waktu setelah pulang liburan itu, saya kepikiran lagi toko Swarovski. Mungkin harusnya waktu itu saya masuk aja ke tokonya, beli satu buat kenang-kenangan. Apa itu bukan pertanda? Bukankah kebetulan yang aneh, selama empat bulan ada empat kali encounter dengan swarovski, dan setelah prioritas yang dulu menghalangi saya beli sendal swarovski, yaitu jalan-jalan, sudah tercapai, di mana lagi tempat yang lebih baik untuk beli barang ber-swarovski selain di surga belanja Hong Kong yang gak ada bea impor?

Tapi itu tidak saya lakukan. Mungkin karena masih shock setelah makan siang semangkok kecil kari ayam, gulai kurma kambing, sepiring nasi, dan dua minuman kaleng seharga HK$182, beli tisu seharga HK$13.8, setelah turun dari kereta yang membawa kami dari Beijing di mana harga makanan kurang lebih sama dengan di Jakarta, suami saya dingin-dingin saja waktu saya nunjuk; "eh itu toko Swarovski!" Dia cuma bilang; "iya tau."

Jadi tokonya kami lewati begitu saja. Suami saya yang dengan noraknya motoin toko Prada dkk beberapa menit sebelumnya, gak tertarik buat motoin toko Swarovski. Bahkan dalam hal foto-foto, saya belum jodoh sama swarovski.

2 comments: