Apalah artinya mual, tidak selera makan,
makan makanan yang tidak disuka, gagal merayakan ulang tahun perkawinan
pertama, tidak bisa ikut shourt course ke luar negeri, menunda traveling selama
lebih dari satu tahun, bahkan menunda rencana melanjutkan sekolah, demi untuk
si buah hati?
Kenyataannya pengorbanan itu memang lebih
berat dilakukan daripada dinyatakan. Setelah 8 bulan lebih mengandung, walaupun mampu (atau terpaksa) melakukan hal-hal berat di atas, saya masih tidak pasrah. Kadang-kadang masih terbayang-bayang
indomie, menyimpan iri pada kolega yang tidak sedang hamil dan ikut shourt
course di salah satu kota impian saya, dan berjengit setiap kali mendengar kata
traveling, Tokyo, Montpellier, umrah, dan berbagai destinasi dalam daftar
mimpi-mimpi saya.
Lebih buruk lagi, saya mulai bertanya-tanya,
untuk apa manusia punya anak? Dan saya tidak bangga karenanya.
Kenapa pula saya bertanya-tanya seperti
itu? Mungkin benar kata temannya Ika, bahwa manusia ingin punya anak hanya
karena ego. Karena tidak mau terlantar di hari tua, tidak mau malu dan
ditanya-tanya keluarga yang mulutnya usil di setiap acara keluarga, sebagai
manifestasi pembuktian diri menjadi orang tua yang sukses mempunyai,
membesarkan, dan mendidik anak, hingga alasan eksistensialis seperti untuk
“meninggalkan jejak” di dunia yang kita hidupi sangat sebentar ini. Dan karena
ego inilah pengorbanan itu rasanya sulit, karena ada hitung-hitungan
untung-rugi dan alasan egoistis manusia di belakangnya.
Mungkin lebih enak jadi perempuan-perempuan
jaman dulu, atau perempuan-perempuan di kampung yang katanya tidak
berpendidikan, yang tidak pernah bertanya-tanya apa gunanya punya anak, atau bahkan
mempertimbangkan apakah mau punya anak atau hidup tanpa anak. Mereka sepertinya
legowo saja dan lebih matang dalam menerima bahwa salah satu tugas manusia di
dunia adalah bereproduksi, tidak seperti manusia-manusia modern yang berfikir logis dan selalu menanyakan segala sesuatunya sehingga membuka pilihan bahwa
manusia tidak harus bereproduksi, apalagi menikah, cukup hidup tenang
memikirkan diri sendiri saja.
Mungkin ego dan ketidakpasrahan ini hanya
masalah saya saja. Saya pun tidak bisa menyalahkan opsi tidak-perlu-bereproduksi-nya
manusia modern sebagai penyebab ketidakpasrahan
saya sebagai calon ibu, karena di alam bawah sadar, saya sudah sangat menerima
konstruksi sosial bahwa manusia akan membentuk keluarga. Toh saya dibesarkan
dalam lingkungan yang mempercayai hal itu. Tapi dalam perjalanan hidup, saya tidak
bisa menghindari pertemuan dengan perdebatan reproduksi itu.
Yang pertama, dari sebuah serial cheesy
tentang tiga saudara cewek penyihir cantik modern yang punya segalanya:
kekuatan super di antara penyihir-penyihir, wajah cantik-cantik, dan pacar yang
ganteng-ganteng. Suatu hari seseorang meletakkan bayi di pintu rumah mereka,
sehingga mereka harus merawat bayi itu sementara. Salah satu dari tiga penyihir
ini merawat dengan sangat telaten dan kasih sayang yang mengherankan dua
saudaranya. Waktu ditanya kenapa begitu serius mengurus bayi, si penyihir
menjawab; “why not? I plan to have one someday.” yang diikuti dengan pandangan
melongo saudari-saudarinya.
Pandangan melongonya mereka itu tidak
selebar melongonya saya. WTF? “Plan to
have a child someday?” So we can choose not to? Ini mungkin salah satu
bentuk culture shock saya dengan budaya Barat (atau budaya modern, atau dari
manapun pemikiran ini berasal). Saat itu benar-benar mengherankan buat saya
bahwa seseorang yang berencana menjadi orang tua bisa membuat heran orang lain.
Itu kejadiannya waktu saya SMA. Semakin
dewasa, saya bertemu berbagai macam orang dan menemukan memang ada orang yang
memilih untuk tidak berkeluarga. Bertukar pikiran dengan mereka, ditambah
dengan sifat saya yang lebih senang menyendiri, introvert, dan bukan familyperson, saya melihat gagasan untuk tidak
berkeluarga itu sangat menarik. Tapi tetap saja pikiran saya tidak bisa
didekonstruksi. Saya tetap yakin suatu saat saya akan berkeluarga, walaupun itu
cuma mengadopsi anak seperti Angelina Jolie sebelum ketemu Brad Pitt.
Sementara itu, film-film Hollywood dengan dialog-dialog
pintarnya yang menarik tak henti menyebar doktrin.
A:
Why do people get married and have children?
B:
Because we don’t want to die alone.
A: Make
no mistake. We all die alone.
Damn all those witty conversations! Ada kebenaran
pahit di sana.
Tapi sekali lagi, kenyataan bahwa kita
semua mati sendirian tidak menyurutkan saya untuk menginginkan keluarga, baik
itu hanya pasangan hidup atau hanya anak. Lagipula, ngeliat hasil negatif di
testpack itu pedih, jendral.
Kesimpulannya, mau punya anak atau tidak,
harusnya tidak perlu ada alasan untuk itu. Seperti kalimat cheesy yang di
film-film komedi romantis itu: “I don’t need reason to love you. I love you
because I want to.” Harusnya berlaku juga untuk anak. Harusnya manusia gak
perlu alasan untuk punya anak. We have kids because we want to. Saya tidak
sabar ingin melihat bayi saya seperti saya tidak sabar menunggu hal-hal terbaik
dalam hidup saya tanpa memikirkan alasan dan untung-rugi pengorbanan. Pun untuk
orang-orang yang memilih hidup sendiri atau nggak punya anak, mereka harus
dibebaskan dari kewajiban ngasih alasan!