Akhirnya Juni datang juga. Bukan sembarang Juni. Ini Juni 2010, kawan. Setidaknya dalam perencanaan bulan ini, saya tidak hanya mikirin kerjaan, tapi juga hiburan. Hiburan di TV. Senangnya.
Biasa saja ya? Masalahnya, saya bukan penonton TV akut. Mungkin benar kata dosen saya yang ahli media itu, kalau pemirsa atau audience, maksudnya, pengonsumsi semua media, terbagi karena kultur media yang berbeda-beda. Pembagian ini bisa dilihat dari kelompok umur, misalnya. Umur 15-40 cenderung aktif di internet, sedangkan umur 40 ke atas lebih suka nonton TV dan agak gaptek di dunia maya. Ah saya lupa pembagian lainnya. Bahkan budaya pemirsa di tiap negara juga beda. Dosen-dosen dan teman-teman yang pernah ke Amerika sering cerita betapa menarik pengaruh televisi pada pemirsa di sana. Mungkin sebagian besar isinya tidak beda dengan TV kita; opera sabun, berita, gosip. Tapi yang menarik adalah talk show, yang hanya baru-baru ini menjamur di TV Indonesia, serta standing comedy.
Anyway, makanya salah seorang teman saya yang pernah lama di Amerika agak kaget waktu melihat saya berpikir cukup lama waktu ditanya “berapa jam sehari elo nonton TV?”. Dan saya menjawab; “mungkin lebih tepat kalo pertanyaannya berapa jam seminggu.” Pada akhirnya saya pun kebingungan menjawab pertanyaan berapa jam seminggu itu. Tepatnya, waktu ditanya itu saya sudah lupa kapan terakhir kali nonton TV :D
Belakangan saya sudah agak insaf. Hanya membaca berita dan melihat foto-foto di internet (bagi saya, video streaming masih barang mewah karena kecepatan internet saya hanya di level mediocre) tidak cukup. Saya butuh gambar bergerak dan suara dari TV. Tapi menonton TV pun biasanya tidak bisa lebih dari 5 menit. Duduk manis dan memegang remote malah membuat saya bingung.
Acara yang bisa bikin saya betah di depan TV selama lebih dari 5 menit cuma pertandingan olah raga. Dan itupun nggak semua. Saya sudah berhenti nonton Serie A dan Premiere League entah sejak kapan, karena malas begadang. Saya juga gak nonton F1 yang ada tiap minggu. Not my kind of game lah. Mungkin kalo saya berlangganan ESPN atau saluran olahraga semacamnya, saya pun memilih-milih tontonan; tenis dan badminton (kalau ada).
Makanya Juni tahun ini jadi istimewa. Juga mengingatkan saya pada cerita empat tahun lalu. Waktu itu saya sudah bekerja beberapa bulan sebagai wartawan di sebuah koran terkemuka. Pekerjaan pertama saya. Gaji lebih dari cukup, sehingga bisa ngekos dekat kantor dengan fasilitas lumayan; 3,5 X 3, kamar mandi sendiri dan ber-AC. Tapi gak ada ruang ngumpulnya, apalagi TV. Tipe kosan individualis di daerah perkantoran Jakarta. Semua orang punya TV masing-masing.
Ceritanya, saya ngekos dari awal tahun 2006. Sampai pertengahan tahun, saya bisa hidup tanpa TV. Tapi akhirnya saya beli TV. Apalagi kalau bukan gara-gara Event Empat Tahunan Itu. Mau nonton di mana? Kagak mungkin numpang. Saya ragu teman-teman kos saya ada yang suka nonton Piala Dunia. Maka saya memutuskan untuk beli TV.
Hebatnya, ada salah satu perusahaan elektronik yang menjual TV khusus untuk menghadapi Piala Dunia. Saya tidak ingat iklannya menyebutkan secara eksplisit segmen itu. Tapi bisa ketahuan dari cara displaynya; di TV itu sedang diputar pertandingan sepakbola klub Eropa, yang tidak lazim disiarkan siang-siang begitu. Ketika saya tanya itu pertandingan apa, si penjaga toko bilang kalo itu pertandingan rekaman. Yak, si TV khusus Piala Dunia ini punya pemutar DVD dan perekam VCRnya. Built in, bukan device terpisah. Dan ada tulisan di bawahnya; “Dengan pemutar DVD dan VCR. Merekam program kesayangan yang tidak sempat Anda tonton.” Perekam VCR itu terbukti sungguh berjasa, ketika saya ketiduran dan melewatkan salah satu pertandingan semifinal. Untung perekamnya sudah diatur.
Peluncuran produk ini saya rasa sungguh berani. Kebanyakan rumah tangga sudah punya TV. Gak ada yang beli TV gara-gara Piala Dunia seperti saya. Ini terbukti dari pengalaman teman sekantor saya. Dia disuruh nyari berita tentang pengaruh Piala Dunia pada tingkat penjualan TV. Saya langsung cerita tentang TV Piala Dunia saya, dan menyanggupi untuk menjadi narasumber, kalau-kalau dia membutuhkan kutipan dari sisi orang yang beli TV untuk Piala Dunia. Ternyata beritanya gak jadi. Gak ada data peningkatan penjualan TV menjelang Piala Dunia. Gak ada yang beli TV hanya untuk Piala Dunia. Atau mungkin sangat jarang orang yang bisa hidup tanpa TV…
Entah kenapa, pengalaman ini jadi kebanggaan buat saya. Mungkin karena bangga bisa hidup sekian lama tanpa TV. Atau karena saya satu-satunya orang yang beli TV untuk Piala Dunia. Atau karena TV itu barang elektronik pertama yang saya beli dengan hasil keringat sendiri. Atau karena pemutar DVD dan perekam VCRnya. Sepertinya tidak banyak yang make VCR hari gini. Dan setiap orang yang melihat TV saya itu, akan saya ceritain kisahnya.
Sayang, sekarang TV itu sudah lama digudangkan. Saya tidak ngekos lagi. Dan walaupun kakak saya sempat menggunakannya (berhubung gak saya pakai), TV itu akhirnya digantikan dengan yang lebih mahal; TV flat dan pemutar DVD canggih, lengkap dengan tape deck, colokan USB dan speaker bersuara indah. Kasihan TV saya. Habis manis sepah dibuang :( Maafkan diriku, TV. Salahkan acara TV yang kebanyakan gak guna itu.
Ah. Excuse my sentimentality. Harusnya posting ini tentang Event Empat Tahunan Itu. Selamat datang, Piala Dunia!
Inilah gambaran generasi abad 21. :D
ReplyDeleteah, i guess you're one of them :)
ReplyDeleteMe, legacy of 20th Century and relict of two millennial history of philosophy and religion. :p
ReplyDelete