Tuesday, February 22, 2011

Menetralisir Kenangan

Jalan-jalan ke kota A. Makan di restoran B. Ngeliat sunset di pantai C. Nonton film D. Denger lagu E. Semua gak berani lagi dilakukan waktu patah hati, karena menyimpan banyak kenangan. Kenangan yang mengingatkan padanya dan tiba-tiba hati yang lukanya belum kering total itu serasa diserempet pisau yang iseng lewat. Cakep.

384px-Venn0001.svgMasalahnya, ketika dekat dengan seseorang, mau mirip atau beda karakternya, selalu ada yang namanya overlapping interests/taste. Apa ya, bahasa Indonesianya, ruang irisan selera? Hobi yang sama, pilihan musik/film/buku yang mirip, topik menarik yang didiskusikan bersamanya, seperti ruang irisan dalam diagram Venn selera. Gara-gara kesamaan selera, ruang irisan ini gak pernah sama lagi. Kalau saya suka film action dan dia juga, maka film action jadi semacam penyakit dalam ruang selera saya, karena sudah terkontaminasi kenangan tentangnya. Geblek. Padahal toh selera film action ini akan overlap juga dengan selera jutaan orang lain di dunia yang juga suka film action.

Makanya, kenangan ini musti dinetralisir. Gak mungkin dilupain, karena di dunia ini gak ada Lacuna, Inc yang bisa menghapus memori. Segala macam kegiatan, hobi, dan selera yang terkontaminasi itu harus bisa dijalani kembali tanpa mengingatkan padanya. Kalaupun kenangan itu tetap ngotot mau lewat, gak usah dibarengi pisau iseng lah. Untuk itu, perlu pengakuan bahwa kenangan itu memang manis, nggak mungkin dilupakan, dan daripada membuat sakit, harus diubah jadi energi positif yang menguatkan. Kesadaran bahwa di suatu waktu di masa lalu, sesuatu pernah indah dan suatu hari nanti keindahan hidup akan kembali.

Anyway.

Satu hal yang bikin saya semangat buat menetralisir kenangan adalah ketika ngeliat music list saya. Ketika mensortir lagu-lagu yang menyimpan kenangan dan gak berani saya denger lagi, komentar saya; “eh buset! masak gw gak bisa denger lagu-lagu ini lagi?!” Rasanya seperti harta gono-gini yang harusnya jadi milik saya tapi malah dia yang ngambil. Serius. Sampai seorang teman yang lebih tua dan bijaksana dan penggila musik sejati pun bilang “Alia, people cannot subsist on music alone.” Barulah saya sedikit tenang. Dia menyadarkan saya bahwa kenangan-kenangan itu pada akhirnya gak akan berarti apa-apa, karena di luar sana orang nggak makan, Jakarta akan tenggelam, dan Mesir belum tentu akan menjadi sejahtera dan demokratis.

Tetap saja, saya butuh waktu buat dengerin lagu-lagu itu kembali. Nonton film-film itu. Ngelakuin kegiatan-kegiatan tertentu. Gimana cara? Masak saya cuma ngelakuin hal-hal yang ada di luar irisan selera? Padahal daerah irisan itu masih dalam lingkaran saya punya. Untuk sementara, saya dengerin lagu-lagu yang saya pikir saya banget, atau kegiatan yang cuma saya nikmati sendiri, yang gak ada kenangan siapa-siapa di dalamnya. Sampai nanti kenangannya netral dan mungkin lagu-lagu dan kegiatan itu bisa ditimpa kenangan baru lagi.

Ngomong-ngomong soal selera musik, saya ngerasa seperti bunglon. Enggak tau masuk genre mana, dari slow sampai ngebit, dari menye-menye sampai riang gembira. Ah sudahlah. Just enjoy!

Sebenarnya sih, satu album Funeral tuh saya banget. Tapi ini paling oke coz saya rasa cocok banget sama judulnya. Bikin badan saya yang gak ekspresif ini berontak untuk sekedar ngangguk-nganggukin kepala, hentakkan kaki, atau goyangin bahu.

 

Ini udah pernah berbulan-bulan saya taro di SoundTrack. Walopun udah disingkirkan dari ST, dari playlist saya sih belum. Susaaahhh!

 

Gitar di kanan, piano di kiri. Paduan yang manis. Kalau gak betah sama lagu-lagu ngebit di atas, yang ini pasti menyejukkan.

 

Setelah sekian lama suka lagunya, baru kali ini liat videonya. Yang ternyata keren juga. Lagu ini seperti kekacauan yang indah. Tapi yang bener-bener meluluhkan saya adalah biolanya, yang lebih kacau dan indah lagi.

 

Ini dia bagian menye-menyenya…

2 comments:

  1. I felt it too. Setiap melewati jalan yang pernah dilalui bersama, melihat bangunan yg pernah dirasa besama, memori lama kadang selalu menyeruak hadir. Meski akhirnya saya juga menyadari, bahwa segalanya mengalir. Gambaran yang membeku itu hanyalah slot waktu yang telah mengapung pergi terbawa arus zaman. Pada akhirnya, semuanya justru menampilkan kesan tanpa warna. Bentuk-bentuk baru yang seakan tidak kita sadari keberadaannya. Pada titik inilah saya paham, bahwa realitas memang bukan milik siapa-siapa. Ia berubah, tersenyum, atau bahkan sedih, dalam kerangka subjektivitas kita semata. Dan kitalah jua yang memberi arti pada setiap nir-makna itu. Lalu mengapa tidak memberikan makna baru seperti yang kita inginkan?!

    ReplyDelete