Monday, February 14, 2011

Pemikiran Acak (a.k.a. Random Thoughts)

Gawat juga patah hati. Saya yang biasanya introvert, jadi curhat di blog. Produktif pula. Statistik lalu lintas blog juga jadi naik. Hm.. apa itu berarti, saya curhat menye-menye aja terus, biar blog saya rame dikunjungi? Hehehe, I don’t think so. Kata seorang temen, ini memang waktunya untuk ngelakuin hal-hal yang beda dan aneh. Toh saya punya alasan untuk itu. Dia bilang, justru kalo lagi dalam keadaan normal, kelakuan saya bakal tampak aneh. Bener juga sih. Dan suatu hari nanti saya bakal kembali nulis dengan gaya dingin dan sok intelek tanpa bawa-bawa perasaan, dan mungkin blog ini bakal sepi lagi.

Jadi hari ini, saya mau break sebentar dari bahasan percintaan dan perasaan. Break? Eh, moga-moga sih seterusnya. Ah itu urusan nanti. Yang jelas sekarang saya mau balik lagi ke kebiasaan unik (atau buruk) saya ketika lagi kebanyakan ide, komentar, dan pemikiran yang masing-masing gak bisa digabung tapi gak kuat juga untuk saya tulis secara mendalam satu per satu. Mungkin karena kurang bahan, kurang ahli, dan kurang usaha buat mendalami. Sekedar komentar amatir yang disalurkan karena ini dunia blog dan social networking; everyone can be critics.

Okeh, pemikiran acak pertama; ketika semua orang tiba-tiba mendewakan timnas Indonesia di akhir tahun lalu, saya tiba-tiba sadar, fans terbaik timnas adalah… Ari Sihasale! Ia membuat film optimis super idealis dan futuris tentang sepakbola Indonesia ketika jarang sekali penggemar bola melirik timnas (termasuk saya:p). Dan jujur saja, saya rasa Ale bukan sutradara yang baik. Saya gak pernah nonton filmnya yang lain, tapi Garuda Di Dadaku, walaupun cukup menyentuh, bikin saya mengeluh; bisa gak sih, film Indonesia menghindari klimaks berupa seseorang sekarat di rumah sakit? Dan kalau diliat-liat, jalan ceritanya klise juga. Tapi bagaimanapun, Ale sudah mendapat hadiah paling pantas untuk seorang fans terbaik timnas: lagu Garuda Di Dadaku jadi lagu kebangsaan fans setiap kali timnas tampil maupun jadi background berita timnas di TV. Emang sih itu lagunya Netral. Tapi filmnya lah yang bikin lagu itu terkenal. Melihat carut-marut PSSI saat ini, memang rasanya mustahil sebuah film akan mengubah sesuatu. Tapi setidaknya beberapa orang udah terbuka pikirannya untuk menanam bibit bagi masa depan.

Lanjut; kekecewaan saya sama Andrea Hirata. Idealis yang tergoyahkan selera pasar. Kalau kamu ngikutin semua novelnya, pasti ngerti yang saya maksud adalah novel Maryamah Karpov. Terbit setelah film Laskar Pelangi menarik banyak penonton, novel ini malah jadi sambungan Laskar Pelangi, bukannya menceritakan tentang perempuan luar biasa seperti yang dijanjikan di sinopsis tetraloginya. Lalu terbit novel dwilogi Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas. Lebih aneh lagi. Padang Bulan adalah sambungan Maryamah Karpov, sendangkan Cinta dalam Gelas adalah kisah yang seharusnya jadi isi Maryamah Karpov. Dan saya gak ngerti kenapa dwilogi ini harus dijadikan satu buku. Mungkin maksudnya memang menonjolkan gaya Andrea yang acak itu, tidak pernah urut, terduga, ataupun terorganisir. Selalu berupa potongan-potongan mozaik yang pada akhirnya membentuk suatu gambar. Tapi saya tetap merasa Andrea terlalu pasrah terhadap ambisi komersil penerbit.

Pemikiran terakhir dan paling panjang; saya sedang mempertanyakan kembali kecintaan saya sama tennis. Gara-gara tahun ini saya sengaja melewatkan Australian Open yang selalu saya tunggu-tunggu, bahkan gak baca berita tentang itu, tentang Novak Djokovic ngalahin Andy Murray di final. Nah loh. Pencinta tennis yang cuma menyimak Australian Open dan gak tertarik sama duel unggulan no 3 dan 5 di final?

Yeah, saya curiga, saya bukan pencinta tennis, tapi pencinta Roger Federer. Bukan karena dia ganteng (emang ganteng gitu?), tapi karena dia bisa jadi adalah petennis terbaik sepanjang masa. Kalau kamu pencinta olah raga, pasti ngerti, ada beberapa pemain yang begitu hebat dan berkarakternya, hingga menonton mereka main aja udah jadi hiburan tersendiri. Ah, mungkin lebih tepat seni. Itu sebabnya, para sponsor mulai dari Gillette sampai Rolex mau bayar gila-gilaan supaya si bintang mau jadi model bahkan icon mereka, dan membuat si bintang bersedia memakai dagangan mereka ke mana-mana. Atau kenapa Nike sampai kecele bikin iklan Piala Dunia yang menonjolkan skill individualis Drogba, Rooney, dan Ronaldo yang berkecimpung dalam olah raga yang jelas-jelas sosialis.

Anyway, balik lagi ke masalah saya, dugaan sebagai pencinta Roger Federer beralasan karena saya cuma nonton Australian Open yang merupakan turnamen kekuasaan Fed selama bertahun-tahun. Fed emang pemain hebat. Kehebatan… well, mungkin lebih tepat seni bernama Roger Federer, tergambar dengan baik dalam artikelnya Roger Cohen dari New York Times. Intinya, Cohen menunjukkan keheranan yang berbau frustasi, bahwa hidup sesempurna Fed gak mungkin ada. Coba lihat kalimatnya Cohen: “During the final, I couldn’t help focusing on three things. The first was the button on Federer’s Nike shirt. Through more than four hours of punishing tennis, sun-baked by British standards, it remained buttoned up. I mean, come on!… The second was the absence from Federer’s face of even a bead of sweat as droplets poured from Roddick’s forehead and slid from the underside of his endlessly adjusted cap... The third was the fact that Federer wore a belt — a belt — in his stylish shorts, as if he was ambling through a Calvin Klein ad rather than serving 50 nonchalant aces and putting on a record-breaking athletic display. Nada frustasinya Cohen selalu bikin saya ketawa, karena begitu jugalah frustasi yang muncul seiring dengan kekaguman para fans, termasuk saya, ketika melihat Fed.

Toh ternyata, Fed punya frustasinya sendiri, dalam sosok bernama Rafael Nadal. Federer petenis terbaik sepanjang masa? Iya, kalau rekor 14 kali kalah dan 8 kali menang melawan Rafa gak pernah ada. Rafa tidak punya gelar sebanyak Fed. Tapi mengingat ia lima tahun lebih muda, dan perlahan mengejar semua rekor Fed, serta menjadi satu-satunya pemain yang bisa mengungguli Fed dalam sejarah duel mereka, maka pantaslah Rafa jadi ancaman. Rival, tepatnya. Dan memang, Fed yang biasanya cool menghadapi petenis lain, tampak keteteran melawan Rafa. Pendeknya, rivalitas inipun jadi yang terbaik sepanjang masa! Bahkan ada entri khususnya di wikipedia.

Jadi, saya harus mengakui, kalau saya cuma penggemar Federer, atau Nadal, atau rivalitas mereka. Dan saya nggak sendiri. Duel mereka di final Wimbledon 2008 sampai meningkatkan rating televisi di US dan Eropa. Tapi penyelenggara hajatan dan dunia tennis pada umumnya harus waspada. Mengelu-elukan rivalitas mereka bisa bikin pembahasan tennis jadi sempit. Gimana kalau banyak yang seperti saya, begitu mendengar final bakal dihuni Murray dan Djokovic, jadi males nonton. Akhirnya saya nyari berita pemenang Australian Open cuma dari websitenya, karena males baca berita panjang-panjang di NY Times. Website yang di headernya cuma ada gambar Fed dan Rafa, sama Serena Williams. Ckckck

4 comments:

  1. tapi, jujur saja daku lebih suka tulisan gaya sekarang...memang lebih hangat dan manusiawi meskipun nulis dengan gaya dingin dan sok intelek tanpa bawa-bawa perasaan, dan mungkin blog ini bakal sepi lagi juga ga pernah segitu jeleknya

    ReplyDelete
  2. wah makasiiiyy:p mungkin efek melankoli emang gitu kali ya

    ReplyDelete
  3. gaya tulisannya sih sama aja. cuman temanya aja agak berubah. atau skdr sok extrovert aja :p

    ReplyDelete
  4. anonymous: maaf, siapa ya? at least i have the courage to reveal my identity.

    ReplyDelete