Sunday, April 1, 2012

Manifesto Anti-Homogenisasi Globalisasi

Idiot mana yang bilang kalo globalisasi itu menyebabkan penyeragaman budaya?! Sini gw kemplang!!!

Hm.. bukan penyeragaman ekstrim sih ya. Semua orang juga tau, KFC gak sama di setiap negara. KFC di Indonesia harus ditambah paket nasi karena menyesuaikan dengan perut Indonesia yang kalo gak makan nasi gak kenyang. Tapi teori homogenisasi budaya ini mengejawantah dalam menjamurnya restoran cepat saji tersebut, begitu mudah diterima karena memfasilitasi budaya efisiensi dan kemudahan bagi perkembangan dunia yang semakin cepat.

Beuh berat. Apa boleh buat, globalisasi sudah menyehari-hari. Jadi, pengalaman sehari-hari otomatis saya kaitkan dengan globalisasi, terlepas dari kesotoyan saya dan snobisme kelas pembaca. Lagipula, sebagai pengajar yang selalu berkoar-koar tentang globalisasi, saya sempat kaget menemukan bahwa ternyata globalisasi gak sebegitu saktinya mengantarkan budaya luar dari Barat.

Emang sih, salah satu hal penting yang harus dicamkan tentang globalisasi adalah level kedalaman globalisasi yang gak merata di seluruh penjuru dunia. Tapi, setelah tinggal bertahun di ibukota berukuran jumbopolitan yang sangat urban, di tempat di mana semua terjadi, ketika waktu berlari mengejar kilat, saya lebih gampang lupa bahwa di daerah lain waktu berjalan lambat dan tidak tergoda oleh produk-produk budaya global yang mengkilat.

miki teksJadi, ketika saya tidak menemukan efisiensi, efektivitas, dan persaingan kapitalis di kota kecil ini, saya kena culture shock. Tuh. Kalau budaya sudah homogen, harusnya gak ada lagi yang namanya culture shock.

Ceritanya waktu itu saya mencari suntiang* siaga bencana. Tentu saja bukan suntiang yang didanai pemerintah seperti konstruksi tahan gempa atau mesjid raya dengan shelter di atasnya. Itu cuma istilah saya untuk suntiang idaman yang ringan, gak ribet, dan tetap keren. Ibaratnya, kalau gempa melanda, si pemakai suntiang bisa menyelamatkan diri lah, tidak terkekang oleh atribut-atributnya. Seingat saya, korban gempa dan tsunami Aceh 2004 dan gempa Padang Pariaman 2009 melibatkan para tetamu dan keluarga yang sedang hajatan pernikahan. Saya kebayang mungkin korban-korban ini kesulitan menyelamatkan diri karena banyak orang dan ribet sendiri karena pakaiannya.

Ih, ngapain yak mikir serem begitu. Ngerusak acara aja. Tapi saya gak bisa disalahkan, kalau ngeliat langsung suntiang-suntiang Minang yang gedenya nauzubilah itu. Kenapa coba, di era globalisasi yang katanya berbasis kapitalisme di mana manajemen mengutamakan efisiensi, efektivitas, dan kemudahan, suntiang Minang semakin lama semakin besar, dan tidak lebih ringan? Walaupun saya curiga, perekonomian bebas jugalah yang menyebabkan suntiang itu semakin besar. Karena keluarga-keluarga kaya semakin kaya, makanya suntiang, yang jumlah tingkatnya melambangkan kesejahteraan keluarga, semakin besar pula. Bayangkan saja, masak ada suntiang yang pake tangan pun gak keangkat. Masyaauloh T_T

Maka skenario suntiang siaga bencana ini pun muncul di benak saya untuk memprotes para penjaja pelaminan yang melotot ketika saya minta suntiang yang ringan. Saya menerima jawaban naif seperti "suntiang mana ada yang berat, nak" (sambil megang yang beratnya 5kg), atau sinis "yang ringan mah cuma kapas, sayang", atau pernyataan menghibur seperti "wajarlah berat untuk hari spesial itu saja, nanti juga terbiasa kok." Saya sudah gatal mau membalas "nanti kalau gempa, saya gak bisa lari dong?" tapi saya tahan-tahan saja. Takut dibilang paranoid atau mengada-ada.

Nah, kenapa coba, kalau globalisasi begitu sakti, kami bangsa Minang tidak lantas menghapuskan suntiang logam itu dan menggantinya dengan suntiang kapas? Ini juga bisa berlaku buat tradisi lain loh ya. Saya dengar siger tuh juga berat dan gak nyaman minta ampun. Trus, kenapa pelaminan Minang dan Makasar tidak lantas ikut-ikutan tren warna modern yang lebih adem dan kalem, tapi malah menjaga warna-warna semarak seperti emas dan neon? Memang sih belakangan sudah ada pelaminan yang agak-agak modern yang membuka kesempatan bagi warna-warna lain seperti biru, krem, oranye, dan ungu. Tapi tetap saja, yang namanya pelaminan Minang itu harus berkilauan dengan warna emas gitu, bukan warna abu-abu metalik milenium. Dan jangan harap di kota Padang dan sekitarnya warna-warna itu gampang didapat. Warna merah dan emas masih dominan di sekitar sini. Terbukti, jargon marketing kapitalis bahwa pembeli adalah raja itu gak terpakai di daerah yang katanya tempat asal turunan pedagang kelas kakap.

Kalo dipikir-pikir, penyeragaman budaya emang gak ada. Harusnya saya gak kaget dengan ketiadaan suntiang siaga bencana idaman itu. Toh rumah makan Padang masih eksis berdampingan dengan KFC. Tetap bersaing dengan waktu hidang yang sama cepatnya, waktu hitung yang taktis walaupun tanpa mesin, dan waktu membayar yang juga singkat. Bahkan gak perlu antri. Pun warung pecel lele yang hawa kompornya merajalela di bawah tenda dan waktu hidangnya bikin semaput juga masih asik dijadikan tempat nongkrong. Dan walaupun ada kecenderungan menuju penyeragaman budaya efisiensi dan digital, seperti manusia di kapal luar angkasa Axiom di film Wall-E, ternyata main air di kolam dan main-main yang lain lebih seru dan variatif daripada ngegosip lewat messenger yang monoton.

*suntiang = sunting: hiasan kepala pengantin Minang

2 comments:

  1. yang belajar marketing juga tau bahwa perlu mengadaptasi yang lokal tapi toh tetap untuk kepentingan yang global (korporasi multinasional). Perusahaan macam ini bisa saja mengangkangi aturan-aturan lintas negara dan kepentingan nation-state dengan berkolaborasi dengan pejabat korup yang ingin melanggengkan kekuasaannya.

    secara politik, globalisasi itu menghilangkan keberagaman ide, memandang rendah kearifan lokal. Televisi menjadi sumber kebenaran. Anak-anak muda seperti kita kehilangan akar budayanya, pemahaman terhadap kearifan lokalnya. Pada akhirnya krisis identitas

    ReplyDelete
  2. tapi di sisi lain, ide besar yang tersebar global itu juga melahirkan resistensi. walopun resistensinya mgkn sama di beberapa tempat berbeda sih

    ReplyDelete