Tuesday, December 24, 2013

Ego Reproduksi

Apalah artinya mual, tidak selera makan, makan makanan yang tidak disuka, gagal merayakan ulang tahun perkawinan pertama, tidak bisa ikut shourt course ke luar negeri, menunda traveling selama lebih dari satu tahun, bahkan menunda rencana melanjutkan sekolah, demi untuk si buah hati?

Kenyataannya pengorbanan itu memang lebih berat dilakukan daripada dinyatakan. Setelah 8 bulan lebih mengandung, walaupun mampu (atau terpaksa) melakukan hal-hal berat di atas, saya masih tidak pasrah. Kadang-kadang masih terbayang-bayang indomie, menyimpan iri pada kolega yang tidak sedang hamil dan ikut shourt course di salah satu kota impian saya, dan berjengit setiap kali mendengar kata traveling, Tokyo, Montpellier, umrah, dan berbagai destinasi dalam daftar mimpi-mimpi saya.

Lebih buruk lagi, saya mulai bertanya-tanya, untuk apa manusia punya anak? Dan saya tidak bangga karenanya.

Kenapa pula saya bertanya-tanya seperti itu? Mungkin benar kata temannya Ika, bahwa manusia ingin punya anak hanya karena ego. Karena tidak mau terlantar di hari tua, tidak mau malu dan ditanya-tanya keluarga yang mulutnya usil di setiap acara keluarga, sebagai manifestasi pembuktian diri menjadi orang tua yang sukses mempunyai, membesarkan, dan mendidik anak, hingga alasan eksistensialis seperti untuk “meninggalkan jejak” di dunia yang kita hidupi sangat sebentar ini. Dan karena ego inilah pengorbanan itu rasanya sulit, karena ada hitung-hitungan untung-rugi dan alasan egoistis manusia di belakangnya.

Mungkin lebih enak jadi perempuan-perempuan jaman dulu, atau perempuan-perempuan di kampung yang katanya tidak berpendidikan, yang tidak pernah bertanya-tanya apa gunanya punya anak, atau bahkan mempertimbangkan apakah mau punya anak atau hidup tanpa anak. Mereka sepertinya legowo saja dan lebih matang dalam menerima bahwa salah satu tugas manusia di dunia adalah bereproduksi, tidak seperti manusia-manusia modern yang berfikir logis dan selalu menanyakan segala sesuatunya sehingga membuka pilihan bahwa manusia tidak harus bereproduksi, apalagi menikah, cukup hidup tenang memikirkan diri sendiri saja.

Mungkin ego dan ketidakpasrahan ini hanya masalah saya saja. Saya pun tidak bisa menyalahkan opsi tidak-perlu-bereproduksi-nya manusia modern sebagai penyebab ketidakpasrahan saya sebagai calon ibu, karena di alam bawah sadar, saya sudah sangat menerima konstruksi sosial bahwa manusia akan membentuk keluarga. Toh saya dibesarkan dalam lingkungan yang mempercayai hal itu. Tapi dalam perjalanan hidup, saya tidak bisa menghindari pertemuan dengan perdebatan reproduksi itu.

Yang pertama, dari sebuah serial cheesy tentang tiga saudara cewek penyihir cantik modern yang punya segalanya: kekuatan super di antara penyihir-penyihir, wajah cantik-cantik, dan pacar yang ganteng-ganteng. Suatu hari seseorang meletakkan bayi di pintu rumah mereka, sehingga mereka harus merawat bayi itu sementara. Salah satu dari tiga penyihir ini merawat dengan sangat telaten dan kasih sayang yang mengherankan dua saudaranya. Waktu ditanya kenapa begitu serius mengurus bayi, si penyihir menjawab; “why not? I plan to have one someday.” yang diikuti dengan pandangan melongo saudari-saudarinya.

Pandangan melongonya mereka itu tidak selebar melongonya saya. WTF? “Plan to have a child someday?” So we can choose not to? Ini mungkin salah satu bentuk culture shock saya dengan budaya Barat (atau budaya modern, atau dari manapun pemikiran ini berasal). Saat itu benar-benar mengherankan buat saya bahwa seseorang yang berencana menjadi orang tua bisa membuat heran orang lain.

Itu kejadiannya waktu saya SMA. Semakin dewasa, saya bertemu berbagai macam orang dan menemukan memang ada orang yang memilih untuk tidak berkeluarga. Bertukar pikiran dengan mereka, ditambah dengan sifat saya yang lebih senang menyendiri, introvert, dan bukan familyperson, saya melihat gagasan untuk tidak berkeluarga itu sangat menarik. Tapi tetap saja pikiran saya tidak bisa didekonstruksi. Saya tetap yakin suatu saat saya akan berkeluarga, walaupun itu cuma mengadopsi anak seperti Angelina Jolie sebelum ketemu Brad Pitt.

Sementara itu, film-film Hollywood dengan dialog-dialog pintarnya yang menarik tak henti menyebar doktrin.
A: Why do people get married and have children?
B: Because we don’t want to die alone.
A: Make no mistake. We all die alone.
Damn all those witty conversations! Ada kebenaran pahit di sana.

Tapi sekali lagi, kenyataan bahwa kita semua mati sendirian tidak menyurutkan saya untuk menginginkan keluarga, baik itu hanya pasangan hidup atau hanya anak. Lagipula, ngeliat hasil negatif di testpack itu pedih, jendral.

Kesimpulannya, mau punya anak atau tidak, harusnya tidak perlu ada alasan untuk itu. Seperti kalimat cheesy yang di film-film komedi romantis itu: “I don’t need reason to love you. I love you because I want to.” Harusnya berlaku juga untuk anak. Harusnya manusia gak perlu alasan untuk punya anak. We have kids because we want to. Saya tidak sabar ingin melihat bayi saya seperti saya tidak sabar menunggu hal-hal terbaik dalam hidup saya tanpa memikirkan alasan dan untung-rugi pengorbanan. Pun untuk orang-orang yang memilih hidup sendiri atau nggak punya anak, mereka harus dibebaskan dari kewajiban ngasih alasan!

11 comments:

  1. pra maternal blues nampaknya:).. then, marriage supposed to be an optional choice too..hanya saja kita dibesarkan dilingkungan yang menjunjung tinggi bahwa manusia memang sebaiknya membentuk keluarga..dan kemudian keturunan.
    lalu diriku kapan dong jeng menikah? #halah

    ReplyDelete
  2. sekarang nggak blues lagi kok hes, lagi excitedly H2C hehehe
    betul marriage can be a choice too. jadi kapan hes kapan, pengen kondangan nih hehehe

    ReplyDelete
  3. okesip nanti kalo ada kenalan dikabarin yaa hehehe

    ReplyDelete
  4. Jiah ... ternyata dicurhatin di blog juga, hahaha ...

    ReplyDelete
  5. Wah udah lama ngga ninggalin jejak di sini...

    Punya anak dan menikah memang selalu jadi misteri buat orang Indonesia. Misteri yang butuh dipecahkan secara kekeluargaan, dengan menjadikannya masalah sejuta umat hiihihihi.

    "Lagipula, ngeliat hasil negatif di testpack itu pedih, jendral."
    INI BENAR ADANYA JENDRAL!!! Berkali-kali testpack dan berkali-kali negatif, maklum hormon eike ababil...galauan....hahahahaha....Lalu setiap kali keluarga bertanya udah isi atau belom, gua selalu jawab dengan lantang...AMIN...AMIN....karena emang pengen banget. Tapi kadang teman-teman juga nanya. Nah untuk yang teman-teman, jawaban ceria gua adalah....bikinnya enak jadi usaha teruslah ngga menyerah hahahaha...Intinya mupeng banget punya anak.

    Mudah-mudahan dengan jawaban begitu, baik ke keluarga atau teman-teman, membuat gua bisa lebih rileks menghadapi hormon yang galau. Kalau kata Deni punya anak itu pasti, dan banyak cara untuk punya anak bisa dengan melahirkan atau adopsi. Omongan dia lumayan bikin gua ngeh kalau pilihan untuk urusan misterius ini banyak banget...

    Dan seperti yang dirimu bilang, apapun pilihannya letaknya bukan pada alasan dari pilihan itu tapi dari seberapa sadar kita untuk bertanggung jawab atas pilihan itu.

    Eh iya...skype-an yuk miss....

    ReplyDelete
  6. wah kamu justru lebih berani, berkali2 testpack. aku sekali negatif aja abis itu gak mau testpack lagi, cemen banget yak :p

    you and daniel are gonna be great parent, jadi betul, rileks saja pris. kalo gak rileks ntar gak jadi2 hehehe

    aku cari password skype-ku dulu ya soalnya sudah lama terabaikan hihih

    ReplyDelete
  7. Saya sempat juga punya pikiran seperti mbak..Knp sih sbg perempuan mandiri, punya penghasilan sendiri dan merasa bisa hidup sendiri harus memilih hidup berkeluarga yang artinya menambah segala "pekerjaan lain-lain" kita diluar pekerjaan di kantor.. Harus ngurus suamilah, yang nantinya apabila punya anak, harus bersusah-susah selama 9 bulan mengandung lalu melahirkan lalu memiliki beban tanggung jawab lebih besar dibandingkan dengan ketika masih hidup sendiri.. Knp harus sebegitu berkorbannya kita sebagai wanita?! Tapi, sekarang pemikiran itu sudah sedikit2 luntur dari pikiran saya.. mungkin.. setelah saya menghubungkan dengan peranan wanita dalam agama dan kedudukan wanita dimata Tuhan..

    ReplyDelete
  8. Huah..how can i miss this post...well, semoga gak telat komentar..tapi alasan? alasan yang mana? hahahaha...setiap hari buatku adalah sebuah pertarungan kecil dengan ego itu..ketika menyuapi pagi, ketika memandikannya, mengeloninya..dan secapek apapun, aku tidak butuh alasan untuk melakukan semua itu. kata iklan, i just do it :)

    ReplyDelete
  9. mbak tantri: maaf baru lihat komennya, waktu itu saya baru lahiran tuh masih repot hehehe. jawabannya balik lagi ke ego mbak, di dunia peribuan (halah peribuan) lah perempuan punya ego sendiri, karena gak bisa disaingi oleh laki-laki, kalo di karir bisa :)

    ika: betul ika, just do it, tapi i learnt the hard way sampai ke kesimpulan itu :( nanti deh bikin posting lagi tentang itu (kalau lagi gak ngurusin anak tentunya) :D

    ReplyDelete